Menu DorpDown

Senin, 24 Juni 2013

MENJAGA KEBAIKAN


MENJAGA KEBAIKAN
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Allah berfirman.
“Artinya : Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan
yang ada pada diri mereka sendiri” [Ar-Ra’du : 11]
Dan Allah berfirman.
“Artinya : Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal
dengan kuat menjadi cerai berai kembali” [An-Nahl : 92]
Dan Allah berfirman.
“Artinya : Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya,
kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras” [Al-Hadid : 16]
Dan Allah berfirman.
“Artinya : Lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya” [Al-Hadid : 27]
Dari Abdullah bin Amru bin Al-Ash berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Ya
Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan, dahulu ia shalat malam lalu ia tidak mengerjakannya lagi”
[Muttafaqun Alaihi]
Penjelasan
Berkata Imam Nawawi (semoga Allah merahmati beliau) : “Bab menjaga kebaikan”. Yaitu bahwasanya
seseorang jika terbiasa mengerjakan kebaikan maka sepatutnya mengekalkannya (menjaganya). Misalnya jika
ia sudah terbiasa tidak meninggalkan hal-hal yang sunnah, yaitu shalat-shalat sunnah yang mengiringi
shalat-shalat wajib, maka hendaknya ia menjaga hal itu, Dan jika ia terbiasa melaksanakan shalat malam maka
hendaknya ia menjaganya. Dan jika terbiasa shalat dhuha dua rakaat maka hendaknya menjaga hal itu, segala
kebaikan yang ia terbiasa mengerjakannya hendaknya ia jaga.
Dari petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya amalan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
terus menerus. Adalah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mengerjakan suatu amalan, beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam kontinyukan dan tidak merubahnya, yang demikian itu dikarenakan jika manusia sudah
terbiasa berbuat dan mengamalkan kebaikan lalu meninggalkannya, sesungguhnya hal ini membuatnya
membenci kebaikan, karena mundur sesudah maju adalah lebih jelek daripada tidak maju, maka kalau
seandainya engkau belum mulai melakukan kebaikan, tentulah hal iti lebih ringan daripada engkau telah
melakukannya lalu engkau tinggalkan, dan hal ini adalah sesuatu yang telah terbukti.
Imam Nawawi (semoga Allah merahmatinya) mengutip dalam bab ini beberapa ayat Al-Qur’an, yang
kesemuanya menunjukkan bahwasanya manusia sepatutnya menjaga kebiasaan amal baiknya, diantaranya
firman Allah.


“Artinya : Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal
dengan kuat, menjadi cerai berai kembali” [An-Nahl : 92]
Maknanya adalah : “Janganlah kalian seperti wanita pemintal yang memintal kain wol, lalu tatkala ia sudah
memintal dan membaguskannya ia robek-robek dan menguraikannya, (janganlah seperti ini) tetapi hendaknya
kalian tetap dan kontinyu terhadap apa yang telah kalian lakukan.
Diantaranya firman Allah
“Artinya : Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya,
kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras” [Al-Hadid : 16]
Artinya : Bahwasanya mereka beramal dengan amal shalih tetapi berlalulah masa yang panjang maka keraslah
hati-hati mereka lalu mereka tinggalkan amal-amal shalih itu, maka janganlah kalian seperti mereka..
Adapun hadits-hadits yang disebutkan oleh Imam Nawawi (diantaranya : hadits Abdullah bin Amru bin
Al-Ash bawasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Wahai Abdullah, janganlah engkau seperti fulan, dahulu ia shalat malam lalu ia tidak mengerjakan
lagi”
Kata-kata fulan adalah kata “kinayah” tentang seorang manusia (seorang lelaki). Sedangkan perempuan
dikatakan “fulanah”, dan kata fulan dalam hadits ini bisa terjadi adalah perkataan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan namanya kepada
Abdullah bin Umar untuk menutupi keadaannya, karena maksud dari perkara itu tanpa pelakunya, dan
mungkin juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan nama lelaki itu tetapi disamarkan
namanya oleh Abdullah bin Amru.
Dari dua kemungkinan diatas, inti dan pokoknya adalah amal. Dan perkaranya adalah seorang lelaki,
dahulunya mengerjakan shalat malam, lalu setelah itu tidak menjaganya (mengekalkannya), padahal
mengerjakan shalat malam hukum pokoknya adalah sunnah, kalaulah manusia tidak melakukannya maka
tidaklah ia dicela, dan tidak dikatakan kepadanya : “Mengapa kamu tidak mengerjakan shalat malam?”.
Karena shalat malam adalah sunnah, akan tetapi keadaannya yang mana ia mengerjakan shalat malam lalu
tidak mengerjakannya, inilah keadaan yang menyebabkan ia dicela. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabdaa : “Janganlah kamu seperti si fulan, dahulu ia shalat malam lalu ia tidak
mengerjakannya lagi”.
Hal yang lain, dan ini merupakan yang terpenting, hendaknya seseorang memulai untuk menuntut ilmu syar’i,
tatkala Allah membukakan baginya kenikmatan ia tinggalkan amalnya (menuntut ilmu syar’i), maka
sesungguhnya hal ini adalah kufur terhadap nikmat yang Allah berikan padanya. Maka jika engkau memulai
menuntut ilmu teruslah menuntut ilmu kecuali sesuatu yang sangat darurat menyibukanmu, dan kalau tidak
ada penghalang maka teruslah menuntut ilmu karena menuntut ilmu hukumnya fardu kifayah, setiap orang
yang menuntut ilmu sesungguhnya Allah akan membalas amalnya itu dengan pahala fardu (wajib).
Dan pahala fardhu adalah lebih besar dari pahala nafilah (sunnah), sebagaimana tersebut dalam hadits shahih
bahwasanya Allah berfirman.
“Artinya : Tiadalah hambaku mendekatkan kepadaku dengan sesuatu yang lebih aku sukai dari apa yang aku
wajibkan kepadanya” [Hadits Riwayat Bukhari 6502]


Menuntut ilmu adalah fardhu kifayah jika seseorang menegakkannya maka berarti ia mewakili umat dalam
melaksanakannya.
Dan terkadang menuntut ilmu itu hukumnya fardhu ain jika seorang manusia membutuhkan ilmu itu untuk
dirinya, sebagaimana ia berkeinginan untuk shalat ia harus belajar hal-hal yang berhubungan dengan hukum
shalat. Dan barangsiapa yang mempunyai harta ia harus mempelajari hukum-hukum zakat, penjual dan
pembeli harus memperlajari hukum-hukum jual beli, dan barangsiapa yang ingin menunaikan haji maka harus
mempelajari hukum-hukum haji, ini hukumnya fardhu ain.
Adapun ilmu-ilmu yang lain, mempelajarinya adalah fardhu kifayah, jika seseorang memulai menuntut ilmu
maka jangalah ia kembali (mundur), tetapi hendaknya ia terus menuntut ilmu kecuali jika ada suatu hal
penting menghalanginya dari menuntut ilmu, hal ini lain lagi keadaannya. Oleh karena itu orang-orang
munafik adalah mereka yang jika memulai suatu amal, mereka tinggalkan amal itu.
Dalam perang Uhud sekitar seribu orang keluar untuk berperang bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sepertiganya adalah orang-orang munafik. Mereka tidak meneruskan perjalanan dan berkata.
“Artinya : Sekiranya kami mengetahui terjadi peperangan tentulah kami mengikuti kamu” [Ali-Imran : 167]
Allah berfirman.
“Artinya : Mereka pada hari itu lebih dekat kepada kekafiran dari keimanan” [Ali-Imran 167]
Sepatutnya bagi seorang muslim jika Allah memberikan karunia kepadanya dengan sesuatu yang mana ia
beribadah kepada Allah dengannya dengan ibadah yang khusus seperti shalat, atau ibadah-ibadah mutaadiyah
(yang bermanfaat kepada selainnya) seperti menuntut ilmu hendaknya ia tidak mundur dan tidak terlambat,
hendaknya ia terus menerus untuk hal itu, karena sesungguhnya yang demikian itu adalah petunjuk Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan dari sebagian petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sabdanya.
“Artinya : Janganlah kamu seperti fulan, dahulu ia shalat malam lalu ia tidak kerjakan lagi”
Dan Allah-lah Maha Pemberi Petunjuk
[Disalin dari majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 9 Th. II 2004M/1425H. Penerbit Ma’had Ali
Al-Irsyad


Tidak ada komentar:

Posting Komentar